Raja Ott Hingga Eks Kpk Dorong Presiden Tidak Beri Amnesti Ke Noel

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, carpet-cleaning-kingston.co.uk --

Sejumlah pihak ramai-ramai mengkritik mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI Immanuel Ebenezer nan meminta amnesti alias pemaafan kepada Presiden Prabowo Subianto atas kasus dugaan pemerasan dan/atau penerimaan gratifikasi nan baru saja dibongkar KPK.

Harun Al Rasyid, dikenal sebagai Raja Operasi Tangkap Tangan (OTT) selama bekerja di KPK, mengungkapkan Noel dan sepuluh tersangka lain kudu berkaca diri.

Dia meyakini Presiden Prabowo bakal mengabaikan permintaan keliru tersebut.

"Terkait kasus Wamenaker, mestinya para tersangka mulai berkaca diri bahwa tidak semua perilaku koruptif itu kudu mendapatkan pembebasan dari Presiden, dan pastinya Presiden kudu sangat selektif dalam mengeluarkan kewenangan istimewanya dalam memberikan abolisi dan semacamnya," ujar Harun saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Minggu (24/8).

Sementara itu, Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Institute Lakso Anindito meminta Prabowo untuk menolak permintaan Noel tersebut. Sebab, amnesti tidak tepat untuk diberikan terhadap mereka nan terlibat kasus korupsi.

Apalagi, kasus dugaan pemerasan Noel dkk dibongkar KPK hanya berselang empat minggu dari penahanan tersangka nan merupakan mantan pejabat Kementerian Ketenagakerjaan dalam kasus dugaan pemerasan mengenai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

"Artinya, ini adalah tindak pidana nan berulang dilakukan pada kementerian nan sama," tutur Lakso.

Mantan interogator KPK Yudi Purnomo Harahap menyatakan penolakan memberikan amnesti bakal memberikan pengaruh jera kepada Noel dkk.

Dia menekankan apa nan diduga dilakukan Noel dkk berbanding terbalik dengan komitmen nan telah berulang kali disampaikan Prabowo untuk mewujudkan negeri nan bebas dari korupsi.

"Tidak memberikan amnesti bagi saya merupakan salah satu bentuk sikap tegas presiden bahwa kemauan beliau memberantas korupsi ke akar-akarnya bakal terwujud," ucap Yudi.

"Sekaligus membuktikan kepada publik bahwa ketika ada personil kabinetnya nan kemudian dia melakukan tindak pidana korupsi, maka dipersilakan kepada penegak norma untuk memprosesnya," imbuhnya.

OTT kembali hidup

Baik Harun, Lakso maupun Yudi menyambut positif kerja-kerja KPK nan terlihat mulai kembali mengaktifkan metode Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam membongkar kasus korupsi.

Harun menjelaskan memang dalam kerja-kerja OTT ada masa menanam dan masa menuai.

"Setelah sekian lama menanam, akhir-akhir ini datang masa tuai alias panen tersebut. Saya tetap percaya bahwa teman-teman KPK mulai menunjukkan keahlian nan ahli dan tajam kembali," ucap dia.

Sementara Lakso mengapresiasi KPK nan belakangan membongkar kasus korupsi dengan OTT- metode nan tak jarang dikritik oleh pejabat publik.

Lakso menegaskan OTT merupakan karakter unik dari KPK nan kudu dilanjutkan andaikan mau merebut kembali kepercayaan publik. Dia pun meminta Presiden Prabowo mendukung perihal tersebut.

"Tentu semakin meningkatnya dan berprestasinya KPK ini kudu kita apresiasi sebagai bentuk kesungguhan KPK dalam upaya kembali pulih, akibat, kita tahu, kontroversi-kontroversi di masa ketua nan lalu," kata dia.

Meski sudah bekerja di jalur nan benar, Lakso bilang IM57+ Institute tetap bakal mengkritisi apa nan kurang dari KPK. Hal itu dia sampaikan sekaligus juga mengingatkan publik untuk terus bersama-sama mengawal kerja KPK.

"Jangan sampai kita euforia, dan ingat bahwa ini baru satu OTT nan membikin publik kembali bergairah terhadap upaya pemberantasan korupsi nan dilakukan oleh KPK," kata Lakso.

Sedangkan Yudi berambisi OTT terhadap Noel bukan menjadi nan pertama dan terakhir, di mana publik menurut dia sangat mengapresiasi kerja KPK.

"Semoga ke depan ada lagi OTT-OTT alias pengungkapan kasus besar termasuk pekerjaan rumah KPK nan kudu diselesaikan mengenai kuota tambahan haji, kemudian CSR BI, biaya hibah Jatim, dan pengungkapan kasus di Pemprov Sumut ya, nan OTT kemarin, termasuk juga kasus BJB," pungkas Yudi.

Kepala PCO Hasan Nasbi menyebut Presiden Prabowo tidak bakal memihak bawahannya nan diduga korupsi, termasuk mantan Wamenaker.

Hasan menyampaikan itu dalam merespons Noel nan berambisi amnesti dari Prabowo usai terjerat kasus dugaan korupsi oleh KPK.

"Presiden juga pernah menyampaikan tidak bakal memihak bawahannya nan terlibat korupsi," ujar Hasan dalam keterangannya, Sabtu (23/8).

Kasus Noel dkk

KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan Rp3 miliar pada Desember 2024. Dari temuan awal KPK, Noel diduga juga telah menerima satu unit motor Ducati.

Dugaan pemerasan tersebut melibatkan 10 tersangka lain dan telah terjadi sejak tahun 2019.

Satu di antaranya merupakan intelektual dader alias otak kejahatan ialah Irvian Bobby Mahendro (IBM) selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Tahun 2022-2025.

Modusnya, menurut KPK, para pihak nan hendak mengurus publikasi sertifikat K3 diharuskan bayar lebih mahal dari biaya resmi.

KPK menyebut biaya resmi semestinya hanya Rp275 ribu, namun pihak nan mengurus sertifikasi diperas sehingga kudu mengeluarkan biaya Rp6 juta.

(ryn/wis)

[Gambas:Video CNN]